PEMANFAATAN DUMBA ( GADUNG-MIMBA) SEBAGAI PESTISIDA ALAMI
OLEH : IKHWAN WAHYUDIANTO
SMPN 3 BALONGPANGGANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kangkung merupakan tanaman yang tumbuh cepat dan memberikan hasil dalam waktu 4-6 minggu sejak dari benih, dengan panjang 30-50 cm ini merambat pada lumpur dan tempat-tempat yang basah seperti tepi kali, rawa-rawa, atau terapung di atas air. Biasa ditemukan di dataran rendah hingga 1.000 m diatas permukaan laut. Bagian tanaman kangkung yang paling penting adalah batang muda dan pucuknya sebagai bahan sayur-mayur. Efek farmakologis tanaman ini sebagai antiracun (antitoksik), antiradang, peluruh kencing (diuretik), menghenti kan perdarahan (hemostatik), sedatif (obat tidur). Kangkung juga bersifat menyejukkan dan menenangkan. Selain itu kangkung juga memiliki kandungan gizi cukup tinggi. Selain vitamin A, B1, dan C, juga mengandung protein, kalsium, fosfor, besi, karoten, hentriakontan, sitosterol. (Wikipedia, 2010). Karena usia pertumbuhan yang cepat menyebabkan tanaman kangkung sangat rentan terhadap berbagai jenis hama tanaman. Sehingga diperlukan berbagai jenis pestisida untuk mengendalikan hama-hama tersebut.
Sampai saat ini pestisida sintetis (kimia) masih merupakan satu-satunya senjata pamungkas petani kangkung untuk pengendalian berbagai jenis organisme pengganggu tanaman di lahan pertaniannya, karena pestisida sinteis mudah didapat, tidak repot, dan hasilnya segera dapat dilihat. Penggunaan pestisida sintesis yang berlebihan akan menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan diantaranya adalah dapat meracuni manusia dan hewan domestik, meracuni organisme yang berguna, misalnya musuh alami hama, lebah dan serangga yang membantu penyerbukan, mencemari lingkungan dengan segala akibatnya, termasuk residu pestisida, (Sastrodiharjo, 1990).
Mengatasi dampak negatif penggunaan pestisida kimia, dapat digunakan pestisida alami atau bahan-bahan nabati. Indonesia cukup kaya akan potensi tanaman penghasil racun untuk memberantas organisme pengganggu tanaman. Tumbuhan anti hama atau penghasil racun untuk memberantas organisme pengganggu harus memenuhi kriteria sebagai berikut: merupakan tanaman tahunan, memerlukan sedikit ruang, tenaga kerja, pupuk, dan air, bukan merupakan tanaman inang atau sumber hama lain, memiliki kegunaan lain selain sebagai pestisida alami, dan bahan anti hama dapat diambil tanpa mematikan tanaman yang bersangkutan. (Hasanudin. 1993).
Salah satu tanaman yang dapat dijadikan sebagai pestisida alami adalah tanaman mimba. Pestisida asal mimba mempunyai tingkat efektifitas yang tinggi dan berdampak spesifik terhadap organisme penggangu. Bahan aktif mimba juga tidak berbahaya bagi manusia dan hewan. Selain itu, residunya mudah terurai menjadi senyawa yang tidak beracun sehingga aman atau ramah bagi lingkungan (Zakiya, dkk, 2009). Penggunaan tanaman mimba sebagai pestisida alami akan lebih baik jika ditambahkan dengan tanaman lain, misalnya umbi gadung. Umbi gadung mempunyai bau dan rasa khas yang tidak disukai oleh beberapa jenis serangga. Pada penelitian ini akan diaplikasikan pestisida alami dari mimba dan umbi gadung untuk mengendalikan hama pada tanaman kangkung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana manfaat campuran umbi gadung dengan daun mimba (DUMBA) sebagai Pestisida alami ?
2. Bagaimana cara pembuatan pestisida alami DUMBA ?
3. Berapa konsentrasi DUMBA yang efektif untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.Mengetahui manfaat campuran gadung dengan mimba (DUMBA) jika digunakan sebagai pestisida alami.
2.Mengetahui cara pembuatan pestisida alami dari daun mimba, dan umbi gadung.
3.Mengetahui konsentrasi DUMBA yang paling efektif untuk mengendalikan OPT pada tanaman kangkung
1.4 Batasan Masalah
1.Bagian tumbuhan mimba yang digunakan sebagai bahan pestisida adalah daunnya
2.Tumbuhan gadung yang digunakan sebagai bahan pestisida alami adalah umbinya
3.Tanaman uji adalah tanaman kangkung sayur
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1Pestisida Alami
Pestisida alami merupakan suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tunbuhan, Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat. Pestisida alami harus menjadi bagian dari sistem pengendalian hama terpadu, dan hanya digunakan bila diperlukan (tidak digunakan jika tidak terdapat hama yang merusak tanaman). Beberapa contoh bahan yang bisa di buat pestisida alami yaitu: mimba, daun papaya, jahe-jahean, tomat, bawang putih, cabai merah, kemanggi, dan lain-lain. (F.Agus, S. Rahayu, 2004).
Adapun beberapa keunggulan dari pestisida alami adalah mudah terurai (biodegradable) di alam, sehingga tidak mencemarkan lingkungan (ramah lingkungan), Relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang, dapat membunuh hama/ penyakit, dapat sebagai pengumpul atau perangkap hama tanaman.
Bahan yang digunakan pun tidak sulit untuk dijumpai bahkan tersedia bibit secara gratis (ekonomis). Dosis yang digunakan pun tidak terlalu mengikat dan beresiko dibandingkan dengan penggunaan pestisida sintesis. Untuk mengukur tingkat keefektifan dosis yang digunakan, dapat dilakukan eksperimen dan sesuai dengan pengalaman pengguna. Jika satu saat dosis yang digunakan tidak mempunyai pengaruh, dapat ditingkatkan hingga terlihat hasilnya. Karena penggunaan pestisida alami relatif aman dalam dosis tinggi sekali pun, maka sebanyak apapun yang diberikan tanaman sangat jarang ditemukan tanaman mati. Yang ada hanya kesalahan teknis, seperti tanaman yang menyukai media kering, karena terlalu sering disiram dan lembab, malah akan memacu munculnya jamur. Kuncinya adalah aplikasi dengan dosis yang diamati dengan perlakuan sesuai dengan karakteristik dan kondisi ideal tumbuh untuk tanamannya.
2.2 Gadung
Gadung mempunyai nama ilmiah Dioscorea hispida termasuk suku gadung-gadungan atau Dioscoreaceae tergolong tanaman umbi-umbian yang cukup populer walaupun kurang mendapat perhatian. Gadung menghasilkan umbi yang dapat dimakan, namun mengandung racun yang dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya. Tumbuhan gadung berbatang merambat dan memanjat, panjang 5–20 m. Arah rambatannya selalu berputar ke kiri (melawan arah jarum jam, jika dilihat dari atas). Ciri khas ini penting untuk membedakannya dari gembili (D. aculeata) yang memiliki penampilan mirip namun batangnya berputar ke kanan. Batang gadung kurus ramping, setebal 0,5–1 cm, ditumbuhi duri atau tidak, hijau keabu-abuan. Daun-daunnya terletak berseling, dengan tiga anak daun menjari, bentuk bundar telur atau bundar telur sungsang, tipis bagai kertas. Bunga jantan terkumpul dalam tandan di ketiak, bunga betina majemuk berbentuk bulir. Umbinya terbentuk dalam tanah, berjumlah banyak dan tak beraturan bentuknya, menggerombol dalam kumpulan hingga selebar 25 cm. (Sudarnadi, H. 1996).
Gambar 1. Tumbuhan gadung (Dioscorea hispida)
Ada beberapa varietas gadung, di antaranya yang berumbi putih, yang besar dikenal sebagai gadung punel atau gadung ketan, sementara yang kecil berlekuk-lekuk disebut gadung suntil dan yang berumbi kuning disebut gadung kuning, gadung kunyit atau gadung padi.
Gadung dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat-obatan herbal dan sebagai pestisida alami, kandungan gadung adalah dioscorine (racun penyebab kejang), saponin, amilum, antidotum, besi, kalsium, lemak, garam fosfat, protein, dan vitamin B1. Bagian yang bisa dimanfaatkan adalah umbinya.
2.3 Mimba
Mimba (Azadirachta indica A. Juss; Mileaceae), merupakan salah satu tumbuhan sumber bahan pestisida alami yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. (F.Agus, S. Rahayu. 2004)
Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di sekitar provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan NTB. Dataran rendah dan lahan kering dengan ketinggian 0-800 dari permukaan laut merupakan habitat yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman mimba. Penanaman dapat dilakukan melalui stek, cangkok, dan biji. Tanaman mimba umumnya berbuah pada umur 3-5 tahun, dan pada umur 10 tahun tanaman mulai produktif berbuah. Buah yang dihasilkan dapat mencapai 50 kg per pohon. Tanaman mimba hanya berbuah setahun sekali (sekitar bulan Desember-Januari) . (Wiratno, dkk. 2001)
Bagian tanaman mimba yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah daun dan bijinya. Ekstrak daun dan biji mimba mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Selain bersifat sebagai insektisida, mimba juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, maupun akarisida.
Gambar 2. Daun dan biji mimba
Berdasarkan kandungan bahan aktifnya, biji dan daun mimba mengandung azadirachtin, meliantriol, salanin, dan nimbin, yang merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman mimba. Senyawa aktif tanaman mimba tidak membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh terhadap daya makan, pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan komunikasi seksual, penurunan daya tetas telur, dan menghambat pembentukan kitin. Selain itu juga berperan sebagai pemandul. Selain bersifat sebagai insektisida, tumbuhan tersebut juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida dan rodentisida. Senyawa aktif tersebut telah dilaporkan berpengaruh terhadap lebih kurang 400 serangga. (Indiati, 2009).
2.4 Kangkung
Kangkung termasuk suku Convolvulaceae atau keluarga kangkung-kangkungan. Merupakan tanaman yang tumbuh cepat dan memberikan hasil dalam waktu 4-6 minggu sejak dari benih, dengan panjang 30-50 cm ini merambat pada lumpur dan tempat-tempat yang basah seperti tepi kali, rawa-rawa, atau terapung di atas air. Biasa ditemukan di dataran rendah hingga 1.000 m diatas permukaan laut.
Gambar 3. Tumbuhan kangkung
Tanaman bernama Latin Ipomoea reptans ini terdiri dan dua varietas, yaitu kangkung darat yang disebut kangkung cina dan kangkung air yang tumbuh secara alami di sawah, rawa, atau parit. Perbedaan antara kangkung darat dan kangkung air terletak pada warna bunga. Kangkung air berbunga putih kemerah-merahan, sedangkan kangkung darat bunga putih bersih. Perbedaan lainnya pada bentuk daun dan batang. Kangkung air berbatang dan berdaun lebih besar daripada kangkung darat. Warna batangnya juga bebeda. Kangkung air berbatang hijau, sedangkan kangkung darat putih kehijau-hijauan. Lainnya, kebiasaan berbiji. Kangkung darat lebih banyak bijinya daripada kangkung air itu sebabnya kangkung darat diperbanyak lewat biji, sedangkan angkung air dengan stek pucuk batang.
Bagian tanaman kangkung yang paling penting adalah batang muda dan pucuknya sebagai bahan sayur-mayur. Kangkung mempunyai rasa manis, tawar, sejuk. Sifat tanaman ini masuk ke dalam meridian usus dan lambung. Efek farmakologis tanaman ini sebagai antiracun (antitoksik), antiradang, peluruh kencing (diuretik), menghentikan perdarahan (hemostatik), sedatif (obat tidur). Kangkung juga bersifat menyejukkan dan menenangkan.
Tanaman bernama daerah kangkueng (Sumatera), pang pung (Nusa Tenggara), kangko (Sulawesi), utangko (Maluku) ini enak rasanya dan memiliki kandungan gizi cukup tinggi. Selain vitamin A, B1, dan C, juga mengandung protein, kalsium, fosfor, besi, karoten, hentriakontan, sitosterol.
Hama yang menyerang penyakit kangkung adalah epilachna (kepik), leptocorixa acuta (walang sangit), spodoptera litura (ulat grayak), myzus persicae (kutu persik), pomacea caralicuta (keong mas)
2.5 Effective Microorganism (EM)
EM banyak digunakan untuk mendukung kehidupan sehari-hari dan digunakan untuk beberapa tujuan antara lain membuat pakan ayam, menjernihkan air limbah, mengendalikan hama dan penyakit tanaman, menghilangkan bau dipeternakan, memproses obat tradisional dan sebagaianya. Sebagai contoh EM dicampur alkohol, tetes dan tanaman toga dapat digunakan sebagai pestisida. Fungsi EM pada dasarnya adalah untuk memfermentasikan bahan organik dalam tanah. Hasil fermentasi ini berupa gula, alkohol, vitamin, asam laktat, asam amino dan senyawa organik lainnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengetahui manfaat umbi gadung dan mimba (DUMBA) sebagi pestisida , cara pembuatan pestisida DUMBA , aplikasi pestisida DUMBA pada tanaman kangkung dengan variasi konsentrasi ekstrak DUMBA yang berbeda terhadap 10 sampel tanaman pada lahan uji di SMPN 3 Balongpanggang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen rancangan acak lengkap (RAL), Konsentrasi ekstrak DUMBA sebagai variable manipulasi dan lubang pada daun kangkung sebagai variable respon.
3.1 Alat
- timbangan
- alat penumbuk
- tempat pengaduk
- saringan
3.2 Bahan
- daun mimba
- umbi gadung
- air
- 50 ml EM (apabila diperlukan)
3.3 Pembuatan pestisida
- tumbuk halus daun mimba & umbi gadung.
- Masukkan hasil tumbukan tersebut dalam 1 liter air , di tambah 50 ml EM , aduk sampai rata.
- Diamkan rendaman tersebut selama 2 malam.
- Saring larutan hasil rendaman dengan saringan.
- Semprotkan larutan hasil penyaringan ke tanaman.
Berikut adalah tabel perbandingan massa gadung dan mimba yang akan dicampur untuk menghasilkan konsentrasi tertentu.
Tabel 1. Perbandingan gadung dan mimba terhadap konsentrasi yang dihasilkan
No Konsentrasi
(gram/liter) Massa (gram)
Gadung Mimba
1 0 0 0
2 25 12,5 12,5
3 50 25 25
4 75 37,5 37,5
3.4 Uji Coba Pada Tanaman
Pestisida DUMBA yang telah dibuat akan diujikan pada tanaman kangkung. Penyemprotan mulai dilakukan saat tanaman kangkung berumur 4 hari dan diakhiri ketika berumur 64 hari. Penyemprotan dilakukan 2 minggu sekali. sampel yang diambil sebanyak 10 tanaman untuk masing-masing konsentrasi, sehingga total sampel atau populasinya ada 50. Disiapkan 5 lahan uji masing-masing mempunyai luas 10 m2. Lahan 1 disemprot dengan larutan 0g/l, lahan 2 disemprot dengan larutan DUMBA 25g/l, lahan 3 disemprot dengan larutan DUMBA 50g/l, lahan 4 disemprot dengan larutan DUMBA 75g/l, dan lahan 5 disemprot dengan larutan DUMBA 100g/l. penyemprotan dilakukan tiap 2 minggu sekali
Tabel 2. Tabel pengamatan pengaruh konsentrasi DUMBA terhadap lubang daun
Konsentrasi ekstrak DUMBA Jumlah tanaman berlubang pada pengamatan tiap 2 minggu sekali Prosentase tanaman yg tidak berlubang (%)
I II III IV
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanaman gadung dan mimba banyak tumbuh di Indonesia, kedua tanaman tersebut memang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat salah satu contohnya gadung dibuat kerupuk, mimba dibuat campuran jamu, disamping itu kedua tanaman tersebut juga dipercaya dapat mengendalikan hama tertentu (pestisida alami) pada tanaman pertanian. Saat ini penggunaan pestisida sintetis atau pestisida kimia mulai dikurangi dikarenakan banyak menimbulkan dampak negatif, diantaranya dapat mencemari lingkungan, meracuni berbagai organisme dan yang lebih bahaya lagi dapat menyebabkan ledakan hama sekunder dan hama potensial. Salah satu alternatif untuk mengatasi dampak negatif pestisida sintetis adalah menggunakan pestisida alami dari gadung dan mimba. Penelitian yang dilakukan untuk mengetahui manfaat kedua tanaman tersebut sebagai pestisida alami masih sedikit dilakukan. Sehingga hasil yang diharapkann dari kedua tanaman tersebut sebagai pestisida alami masih kurang. Untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan kedua tanaman tersebut sebagai pestisida alami diperlukan penelitian yang berkelanjutan dari semua pihak terutama para pelajar, sehingga kita mendapatkan manfaat dari gadung dan mimba yang lebih banyak dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Pada penelitian ini pengolahan ekstrak gadung dan mimba dilakukan seefektif mungkin agar dapat diterapkan secara cepat dan ekonomis. Langkah pertama yang dilakukan adalah menghaluskan 0,25 kg umbi gadung dan 0,25 kg daun mimba dengan mesin blender. Umbi gadung dan daun mimba yang sudah dihaluskan kemudian dicampur jadi satu dan dimasukkan dalam 10 liter air dan diaduk rata. Untuk mempercepat proses fermentasi ditambahkan 50 ml EM pada larutan. Kemudian larutan didiamkan selama 1-2 hari. Untuk mempermudah penyebutan nama pestisida alami yang telah dibuat dan juga untuk lebih mempopulerkan pada masyarakat, selanjutnya campuran umbi gadung dan daun mimba dinamakan DUMBA dari kata gadung dan mimba. Dengan komposisi tersebut diatas menghasilkan larutan DUMBA dengan konsentrasi 50 g/l. Untuk mendapatkan konsentrasi DUMBA yang lain dapat dilihat pada Subbab 3.3. Larutan DUMBA hasil fermentasi kemudian disaring bertujuan agar tidak menyumbat hand spray saat aplikasi.
Larutan DUMBA diaplikasikan pada tanaman kangkung, karena tanaman ini merupakan tanaman yang cepat tumbuh, mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan rentan terhadap hama pengganggu seperti belalang dan ulat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi mimba 0 g/l tidak menunjukkan hasil sama sekali atau semua tanaman uji berlubang, konsentrasi 25 g/l didapatkan tanaman yang tidak berlubang 30%, konsentrasi 50 g/l didapatkan tanaman yang tidak berlubang 50 %, konsentrasi 75 g/l didapatkan tanaman yang tidak berlubang 60%, dan konsentrasi 100 g/l didapatkan tanaman tidak berlubang 80%. Berdasarkan data tersebut, larutan DUMBA tidak efektif untuk menekan OPT pada konsentrasi 0-50 g/l. hal itu dikarenakan zat azadiraktin dan dioscorine yang terkandung dalam larutan DUMBA terlalu kecil, sehingga belum mampu untuk mengendalikan OPT pada tanaman. Larutan DUMBA baru efektif untuk mengendalikan OPT pada konsentrasi 75 g/l keatas. Hal itu dibuktikan dengan daun yang tidak berlubang pada tanaman kangkung mencapai 60% ketika disemprot dengan larutan DUMBA 75 g/l.
BAB V
KESIMPULAN
Dari kegiatan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa campuran umbi gadung dan daun mimba (DUMBA) dapat digunakan sebagai pestisida, terutama untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada tanaman kangkung (Ipomoea reptans). Pembuatan DUMBA sebagai pestisida sangat mudah dan ekonomis karena semua bahan banyak ditemukan disekitar kita. Cara pembuatan DUMBA adalah umbi gadung dan daun mimba dihaluskan dengan cara di blender, kemudian didiamkan selama 1-2 hari untuk proses fermentasi agar semua bahan tercampur merata. DUMBA hasil fermentasi dapat disemprotkan langsung pada tanaman kangkung. Pestisida DUMBA mempunyai kandungan dioscorine dan azadiraktin. Kedua zat tersebut terbukti dapat mengendalikan OPT pada tanaman kangkung. Selain itu penggunaan DUMBA tidak akan mencemari lingkungan dan tidak meninggalkan zat racun pada tanaman karena mudah zat aktifnya mudah terurai. Larutan DUMBA 75 g/l menyebabkan 60% tanaman kangkung tidak berlubang, 100 g/l menyebabkan 70% tanaman kangkung tidak berlubang, dan jika konsentrasinya diperbesar hasilnya akan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. F.Agus, S. Rahayu. 2004. Mimba dan Manfaatnya.World Agroforesty Centre, (http://www. Pindra.com, diakses 12 Januari 2008).
2. Hasanudin,Dr. Ir.MS, 2003. Peningkatan peranan mikroorganisme Dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
3. Indiati, 2009 . Mimba Pestisida Nabati Ramah Lingkungan. In agronursery@ yahoogroups. com
4. Nurul Dzakiya, dkk, 2009. Pemanfaatan Daun Mimba (Azadirachta Indica A. Juss) Sebagai Pestisida Alami Yang Aman Bagi Makhluk Hidup Dan Ramah Lingkungan. Universitas Negeri Malang
5. Sastrodiharjo, Soelaksono. 1993. Pemanfaatan dan Penyediaan Pestisida Botani dalam Rangka Efisiensi Agro-Input di Perkebunan Rakyat. PAU Ilmu Hayat, ITB: Bandung.
6. SUDARNADI, H. 1996. Tumbuhan Monokotil. Penebar Swadaya, Jakarta.
7. Wiratno, dkk. 2001. Budi Daya Nimba (Azadirachta Indicha A.Juss). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Balitbang Pertanian.
8. WWW.idwikipedia.com/kangkung/2010
SAINS AND TECHNOLOGI FOR EDUCATION
aplikasi sains dan teknologi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia
Rabu, 26 Oktober 2011
Selasa, 30 Maret 2010
PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM SENSOR GAS METANA
PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI SISTEM SENSOR GAS METANA
Oleh
Ikhwan Wahyudianto
2009
Abstrak
Metana adalah salah satu gas yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Metana mempunyai sifat ringan, tidak berbau dan mudah terbakar. Pada penelitian ini dirancang sistem sensor gas metana yang dapat digunakan untuk pengukuran konsentrasi gas metana. Salah satu material sensor gas metana adalah senyawa paladium oksida. Prinsip kerja sensor adalah penurunan resistansi pada sensor ketika mendeteksi gas metana. Sistem sensor yang digunakan dalam penelitian ini akan dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan meliputi respon time sensor, jangkauan pengukuran masukan dan pengeluaran, tegangan saturasi, dan kalibrasi. Hasil pengukuran akan ditampilkan melalui LCD dan PC, pemrograman menggunakan Visual Basic, dan mikrokontroler yang digunakan adalah AVR ATMEGA 8.
Hasil pengolahan data karakterisasi sensor yang telah diperoleh menunjukkan bahwa respon time sistem sensor ketika pemanasan adalah 450 s, respon time setelah pemanasan 100 s, jangkauan pengukuran masukannya adalah antara 500ppm -10.000ppm dengan rentang sinyal keluaran 0.8V-4.8V. Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan tegangan keluaran sensor dan alat ukur konsentrasi gas metana. Hasil kalibrasi adalah fungsi transfer sensor yaitu V=1.8636Ln(ppm)-11.686.
Kata kunci: Metana, sensor gas, karakterisasi, kalibrasi, pengukuran.
I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Metana merupakan salah satu sumber energi. Gas metana terdapat pada gas alam, dan batubara. Gas metana juga dapat diproduksi massal oleh bakteri anaerobik dari bahan-bahan organik yang disebut sebagai biogas. Prosentase metana pada biogas berkisar 40%-70% dari total penyusun biogas (Sullavan, 2007). Gas metana dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin, gas metana diklaim lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang lain (Dentener F,2006). Gas metana juga me rupakan bahan baku produksi hidrogen, metanol, asam cuka, dan anhibrida asetat.. Di beberapa negara maju, gas metana telah didistribusikan untuk kebutuhan rumah tangga sebagai bahan bakar. Selain manfaat yang disebut diatas, gas metana juga mempunyai dampak negatif. Konsentrasi gas metana lebih dari 5% di udara menyebabkan ledakan, salah satu contohnya adalah ledakan tumpukan sampah yang terjadi di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2008 (Kompas, 2008). Gas metana merupakan salah satu penyebab utama terjadinya efek rumah kaca (Ramaswamy et all., 2001). Melihat manfaat dan bahaya yang didapat dari gas metana maka perancangan sistem sensor metana untuk mengukur konsentrasi gas metana sangat diperlukan. Sistem sensor gas metana dapat digunakan untuk memonitor produksi gas metana pada biogas, kebocoran gas metana pada ruang penyimpan gas metana, dan untuk memonitor gas metana yang dihasilkan oleh timbunan sampah di tempat pembuangan sampah akhir.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan melakukan karakterisasi sistem sensor gas metana
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah konsentrasi metana yang terukur pada rentang 500ppm-10.000ppm. Hasil Pengukuran ditampilkan pada LCD dan PC dengan pemrograman Visual Basic.
II. Dasar Teori
2.1 Metana
Gas metana merupakan rantai hidro karbon terpendek dan teringan yang ada di alam dengan rumus kimia CH4. Metana di alam terdapat pada gas alam dan batu bara, selain itu metana juga terdapat dalam biogas. Metana mempunyai sifat ringan, tidak berbau, tidak beracun dan mudah terbakar. (Forster, P.et all, 2007).
Komponen utama gas alam adalah gas metana, yaitu sebesar 80%-95%, kemudian etana (C2H6), propana (C3H8) dan butana(C4H10) (Born, 1990). Gas alam banyak ditemukan di ladang minyak, ladang gas bumi dan juga tambang batubara. Gas alam harus diolah terlebih dahulu sebelum didistribusikan. Campuran organosulfur dan hidrogen sulfida adalah pengotor utama dari gas yang harus dipisahkan . Gas dengan jumlah pengotor sulfur yang signifikan dinamakan sour gas dan sering disebut juga sebagai acid gas Gas alam yang telah diproses dan akan dijual bersifat tidak berasa dan tidak berbau. Akan tetapi, sebelum gas tersebut didistribusikan ke pengguna akhir, biasanya gas tersebut diberi bau dengan menambahkan thiol, agar dapat terdeteksi bila terjadi kebocoran gas.
Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob. Colleran dkk (2003) membagi fase penurunan anaerobik dalam 4 fase, yaitu hidrolisis, asidogenik, asitogenik, dan metanogenik. Fase hidrolisis menguraikan protein, karbohidrat, dan lemak menjadi zat yang lebih sederhana. Fase hidrolisis menghasilkan asam amino, sakarida, asam lemak serta gliserol. Bakteri asidogenik memisahkan enzim untuk hidrolisis dan mengubah zat organik yang mudah terurai menjadi asam lemak dan alkohol. Asam lemak dan alkohol kemudian diubah oleh bakteri asetogenik menjadi asam asetat dan hidrogen serta karbondioksida. Bakteri metanogenik kemudian merubah asam asetat dan hidrogen serta karbondioksida untuk produksi metana. Komponen biogas terdiri dari 40%-70% gas metana, Karbondioksida (CO2) 30%-60%, Hidrogen (H2) 1%, dan kurang dari 1% dalam bentuk Nitrogen (N2), Hidrogen Sulfida (H2S), Oksigen (O2) dan Karbon Monoksida (CO) (Harahap).
Metana mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, gas metana yang dimampatkan dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin, gas metana diklaim lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang lain (Dentener F,2006), Di dalam industri kimia, metana adalah bahan baku untuk produksi hidrogen, metanol, asam cuka, dan anhidrida asetat. Di beberapa negara maju, metana telah didistribusikan ke rumah-rumah penduduk untuk kebutuhan domestik, bahkan NASA juga sedang melakukan penelitian tentang kemungkinan gas metana digunakan sebagai bahan bakar roket (J. H. Lacy).
2.2 Sensor Gas
Sensor adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyal-sinyal yang berasal dari perubahan suatu energi seperti energi listrik, energi fisika, energi kimia, energi biologi, energi mekanik dan sebagainya (Sharon, 1982). Teknologi sensor mengalami perkembangan yang pesat, salah satunya adalah sensor kimia. Sensor kimia adalah sensor yang peka terhadap zat-zat kimia. Sensor ini menggunakan berbagai macam fenomena reaksi kimia yang mempengaruhi pengukuran karakteristik elektrik seperti hambatan, potensial, arus atau kapasitansi (Sinner-Hettenbach).
Sensor kimia mempunyai beberapa macam jenis, salah satunya adalah sensor gas berbahan metal oxida. Sensor ini mulai dikembangkan sekitar tahun 1960. Beberapa bahan metal oksida yang digunakan sebagai bahan sensor gas adalah SnO2 dan PdO2 (Fraden).
2.2.1 Prinsip Kerja Sensor Gas
Material sensor dari sensor gas metana adalah metal oksida, khususnya senyawa paladium oksida. Ketika bahan paladium oksida dihangatkan pada temperatur tertentu, maka oksigen akan diserap dari permukaan bahan, sehingga oksigen akan bermuatan negatif. Proses penyerapan oksigen oleh sensor dapat dilihat dari persamaan kimia berikut ini:
PdO2 + ½O2 + e- (PdO2)O- (2.1)
Hal ini disebabkan karena permukaan bahan akan mendonorkan elektron pada oksigen yang terdapat pada lapisan luar, sehingga oksigen akan bermuatan negatif dan muatan positif akan terbentuk pada permukaan luar bahan. Tegangan permukaan yang terbentuk akan menghambat laju aliran elektron (Sokolov AV, 2004).
Didalam sensor, arus listrik mengalir melewati daerah sambungan (grain boundary) dari bahan paladium oxida. Pada daerah sambungan, penyerapan oksigen mencegah muatan untuk bergerak bebas. Jika konsentrasi gas menurun, proses dioksidasi akan terjadi. Rapat permukaan dari muatan negatif oksigen akan berkurang dan akan mengakibatkan menurunnya ketinggian penghalang dari daerah sambungan. Misalnya, ditemukan adanya gas CH4 yang terdeteksi, maka persamaan reaksi kimianya berikut:
CH4 + 3PdO22- 3PdO- + CO2 + 2H2 O + 3e
.............. (2.2)
Dengan menurunnya penghalang maka resistansi sensor juga akan ikut menurun
Sensor gas metana mempunyai sensitivitas dan selektifitas yang sangat baik terhadap gas metana. Salah satu contoh sensor metana berbahan metal oxida adalah sensor TGS 2611 keluaran Figaro.
2.2.2. Sensitivitas Terhadap Gas
Resistansi sensor menurun drastis saat menemukan gas metana dan saat meninggalkan gas metana resistansinya kembali seperti semula.
Hubungan antara hambatan sensor terhadap konsentrasi gas ialah linier pada skala logaritmik mulai dari 500 ppm hingga 10.000 ppm.
2.2.3 Karakteristik Sensor
Karakteristik statik ditentukan oleh sifat sensor yang perubahan responnya tidak berubah terhadap waktu, beberapa hal yang termasuk dalam karakteristik statik sensor meliputi kalibrasi, linieritas, sensitivitas, jangkauan pengukuran, saturasi, dan repeatibility. (Fraden, 2003).
Karakteristik dinamik sensor adalah karakteristik sensor yang dipengaruhi oleh waktu. Karakteristik dinamik sensor ditandai dengan grafik respon time yang bersifat non linier.
2.3 Pengkondisi Sinyal
Pengkondisi sinyal adalah rangkaian elektronik yang dirancang dan dikemas khusus untuk keperluan pengukuran.
Rangkaian pengkondisi sinyal digunakan oleh sensor secala langsung untuk memperoleh parameter secara fisik yang diubah mejadi sinyal keluaran yang diperlukan. Tipe yang spesifik dari pengkondisi sinyal tergantung pada tipe dari sensor yang digunakan dan karakteristik sinyal keluaran yang dihasilkan
Tugas pengkondisi sinyal yang sering dilakukan adalah penguatan (amplification), dan linearisasi. Beberapa alat pengkondisi sinyal dapat melakukan penguatan sekaligus linearisasi untuk berbagai macam tipe transduser sedangkan jenis alat pengkondisi sinyal lainnya hanya bisa melakukan penguatan, linearisasinya menggunakan perangkat lunak (program) yang digunakan.
Pengkondisi sinyal yang digunakan pada penelitian ini adalah operasional amplifier (OpAmp). OpAmp pada hakekatnya merupakan sejenis IC. Di dalamnya terdapat suatu rangkaian elektronik yang terdiri atas beberapa transistor, resistor dan atau dioda. Jika pada IC jenis ini ditambahkan suatu jenis rangkaian, masukkan dan suatu jenis rangkaian umpan balik, maka IC ini dapat dipakai untuk mengerjakan berbagai operasi matematika, seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, mengintegrasi, dsb.
Tidak seperti amplifier konvesional, OpAmp mempunyai dua terminal masukkan, yakni: inverting input dan noninverting input yang masing-masing ditandai dengan "+" dan "-".
Faktor penguatan OpAmp boleh dikatakan sepenuhnya ditentukan oleh ratio R1 terhadap R2 dalam rangkaian feedback. .
OpAmp banyak dimanfaatkan dalam peralatan-peralatan elektronik sebagai penguat sensor dan masih banyak lagi. Pada penelitian ini, untuk sensor TGS 2611 menggunakan penguatan berupa operasional amplifier non inverting yang nanti akan dihubungkan dengan rangkaian sensor. Rangkaian operasional amplifier non inverting adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3. Rangkaian penguat non inverting
Penguat non inverting atau penguat tak membalik adalah penguat sinyal dengan tegangan keluaran yang sefase dengan sinyal masukan. Sinyal masukan disambungkan ke kaki non inverting (+) dan masukan inverting digrounkan. Tanda (+) dan (-) pada masukan op-amp bukan menunjukkan orientasi tegangan tetapi untuk menunjukkan adanya ketertinggalan fase.
III. Metodologi
Dalam bab metodologi ini menjelaskan dua sub bab yaitu yang pertama perancangan perangkat keras dan yang kedua perancangan perangkat lunak.
3.1 Perancangan perangkat keras
a. Rangkaian Dasar Pengukuran
Sensor metana menggunakan rangkaian pembagi tegangan sederhana. Dengan meng gunakan rangkian ini memungkinkan untuk mengamati parubahan resistansi sensor dengan megukur tegangan keluarannya.
Gambar 3.1 Rangkaian dasar pengukuran
Tegangan input yang digunakan sistem sensor sebesar 5 V. Hambatan beban yang dipilih adalah 400.
b. Pengkondisi Sinyal
Pengkondisi sinyal menggunakan rangkaian Op-Amp non inverting dengan penguatan 3 kali.
c. Sistem Interface
Menggunakan mikrokontroler AVR ATMEGA 8 yang berfungsi sebagai ADC, sehingga data pengukuran dapat ditampilkan pada LCD dan PC.
Gambar 3.1. Diagram blok rangkaian pengukur
konsentrasi CH4
3.2 Perancangan Perangkat Lunak
Program yang digunakan untuk menampilkan data adalah Visual Basic. Pengolahan data dengan Matlab 7.41.
3.3. Karakterisasi Sistem Sensor Metana
Pengambilan data untuk karakterisasi sistem sensor dengan menggunakan tempat penampung gas metana yang terbuat dari karet. Sistem sensor diletakkan pada sebuah tabung yang terhubung dengan penampung gas metana. Diasumsikan bahwa konsentrasi gas metana dalam tabung homogen. Proses kalibrasi dengan cara membandingkan data tegangan keluaran sensor dengan data konsentrasi gas metana yang terukur oleh alar ukur metana Star Gas GDS 898 OTC milik Balai Hiperkes Surabaya.
IV Hasil dan Pembahasan
4.1 Pengkondisi sinyal
Rangkaian dasar pengukuran yang digunakan adalah rangkaian pembagi tegangan (Gambar 3.1). Dalam rangkaian pembagi tegangan, tegangan ouput yang diambil adalah tegangan pada hambatan beban RL. Karena pada dasarnya tegangan pada sensor dan tegangan pada hambatan beban sama besar. Lihat gambar 3.1. Tegangan input (V) 5 Volt, hambatan beban RL 400, dan hambatan sensor Rs adalah variabel yang bergantung dari konsentrasi gas metana. Tegangan output (VL) dinyatakan dengan rumus:
.........................(4.1)
Ketika sensor mendeteksi gas metana, resistansi sensor RS nilainya turun, dari persamaan 4.1, jika RS turun, maka tegangan output (VL) naik.
Tegangan keluaran sensor terlalu kecil untuk dapat diolah dan diterima oleh mikrokontroler, sehingga diperlukan pengondisi sinyal berupa OP-Amp non inverting. Nilai penguatan yang dipilih adalah 3 kali. Tegangan keluaran awal 0.09 V, setelah dikuatkan 3 kali, tegangan keluarannya menjadi 0,3 V. Penguatan yang diambil tidak boleh terlalu besar, karena akan memperkecil batas pengukuran sensor gas metana.
4.2 Respon time Sensor
Setiap alat instrumentasi mempunyai waktu tanggap untuk menghasilkan outputan yang stabil atau respon time yang bebeda-beda. Sistem sensor metana mempunyai karakteristik yang unik. Sebelum digunakan untuk sensing, sensor perlu dipanaskan terlebih dahulu.
Gambar 4.1 Grafik Respon Time Sensor Ketika
Pemanasan
Dari grafik diatas, tampak bahwa sensor membutuhkan sekitar 450 s untuk mencapai tegangan yang stabil, atau dapat dikatakan respon time sensor ketika pemanasan adalah selama 450 s dengan nilai tegangan 0.76V.
Gambar 4.2 Grafik Respon Time Sensor pada
berbagai Konsentrasi Gas Metana
Gambar 4.2 menunjukkan perilaku sensor yang sudah dipanaskan ketika mendeteksi gas metana. Respon time sensor adalah 100 s
Sensor metana membutuhkan waktu 450s supaya tegangannya setabil. Waktu 450s tersebut digunakan sensor untuk memanaskan elemen sensing. Elemen sensing akan bekerja setelah adanya pemanasan.
4.3 Jangkauan Pengukuran Sensor
Jangkauan pengukuran adalah salah satu karakteristik sensor. Jangkauan penguran ada dua macam yaitu jangkauan pengukuran masukan dan jangkauan pengukuran keluaran. Jangkauan pengukuran masukan sensor gas metana adalah antara 500 ppm sampai dengan 10.000 ppm. Jangkauan pengeluarannya adalah selisih input maksimum terhadap input minimum, yaitu sebesar 9500 ppm. Sensor gas metana mempunyai titik saturasi atau batas pengukuran tertinggi yang dapat dilakukan oleh sensor. Sensor gas metana hanya mampu mengeluarkan tegangan output maksimal 4.8 V.
Gambar 4.3 Jangkauan Pengukuran Sensor Gas
Metana
4.4 Kalibrasi Sensor
Kalibrasi sensor metana menggunakan data pembanding dari alat ukur metana Star Gas GDS 898 OTC milik Balai Hiperkes Surabaya. Data tegangan keluaran sensor dibandingkan dengan data konsentrasi dari alat ukur metana GDS898OTC. Kemudian dibuat grafik hubungan antara tegangan keluaran dari sensor metana dengan konsentrasi gas dari GDS 898OTC.
Gambar 4.4 grafik Kalibrasi Sensor Gas Metana
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan didapatkan bahwa respon time sensor sebelum dan sesudah pemanasan masing-masing adalah 450s dan 100s. Jangkauan pengukuran masukan antara 500ppm–10.000ppm dengan rentang sinyal keluaran 0.8V–4.8V. Fungsi transfer sistem sensor yaitu V=1.8636Ln(ppm) –11.686.
5.2 Saran
Untuk pengembangan dan penelitian selanjutnya agar dapat dibuat sistem data base pada sistem sensor gas metana, sehingga dapat menyimpan hasil pengukuran yang banyak,
DAFTAR PUSTAKA
1. A.V. Mancharkar, S.H. Behere, 2005, PCPICE Simulation for Performance Testing of Signal Conditioning Circuit for LDR, Acad Journal, Vol 15
2. Born, M., H. Dorr, and I. Levin, 1990: Methane consumption in aerated soils of the temperate zone. Tellus , 42B, 2–8.
3. David , (2001), The Biogas Handbook, Peace Press.
4. Dentener, F., et al., 2006: Emissions of primary aerosol and precursor gases in the years 2000 and 1750 - prescribed data-sets for AeroCom. Atmos.Chem. Phys. Discuss
5. Ed Wheless,” Siloxanes in Landfill and Digester Gas Update”
6. Forster, P.et all, 2007: Changes in Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing” Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
7. Harahap, F., Apandi, M., Ginting, S., (1978). Teknologi Gas Bio, PTP-ITB
8. J. H. Lacy, J. S. Carr, N. J. Evans, II, F. Baas, J. M. Achtermann, J. F. Arens (1991). "Discovery of interstellar methane - Observations of gaseous and solid CH4 absorption toward young stars in molecular clouds". Astrophysical Journal
9. Ramaswamy, V., et al., 2001: Radiative forcing of climate change. In Climate Change 2001: The Scientifi c Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton, J.T., et al. (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, pp. 349–416.
10.Kompas 23-02-2005
11.http://www.figaro.com
1)
Oleh
Ikhwan Wahyudianto
2009
Abstrak
Metana adalah salah satu gas yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Metana mempunyai sifat ringan, tidak berbau dan mudah terbakar. Pada penelitian ini dirancang sistem sensor gas metana yang dapat digunakan untuk pengukuran konsentrasi gas metana. Salah satu material sensor gas metana adalah senyawa paladium oksida. Prinsip kerja sensor adalah penurunan resistansi pada sensor ketika mendeteksi gas metana. Sistem sensor yang digunakan dalam penelitian ini akan dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan meliputi respon time sensor, jangkauan pengukuran masukan dan pengeluaran, tegangan saturasi, dan kalibrasi. Hasil pengukuran akan ditampilkan melalui LCD dan PC, pemrograman menggunakan Visual Basic, dan mikrokontroler yang digunakan adalah AVR ATMEGA 8.
Hasil pengolahan data karakterisasi sensor yang telah diperoleh menunjukkan bahwa respon time sistem sensor ketika pemanasan adalah 450 s, respon time setelah pemanasan 100 s, jangkauan pengukuran masukannya adalah antara 500ppm -10.000ppm dengan rentang sinyal keluaran 0.8V-4.8V. Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan tegangan keluaran sensor dan alat ukur konsentrasi gas metana. Hasil kalibrasi adalah fungsi transfer sensor yaitu V=1.8636Ln(ppm)-11.686.
Kata kunci: Metana, sensor gas, karakterisasi, kalibrasi, pengukuran.
I. Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Metana merupakan salah satu sumber energi. Gas metana terdapat pada gas alam, dan batubara. Gas metana juga dapat diproduksi massal oleh bakteri anaerobik dari bahan-bahan organik yang disebut sebagai biogas. Prosentase metana pada biogas berkisar 40%-70% dari total penyusun biogas (Sullavan, 2007). Gas metana dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin, gas metana diklaim lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang lain (Dentener F,2006). Gas metana juga me rupakan bahan baku produksi hidrogen, metanol, asam cuka, dan anhibrida asetat.. Di beberapa negara maju, gas metana telah didistribusikan untuk kebutuhan rumah tangga sebagai bahan bakar. Selain manfaat yang disebut diatas, gas metana juga mempunyai dampak negatif. Konsentrasi gas metana lebih dari 5% di udara menyebabkan ledakan, salah satu contohnya adalah ledakan tumpukan sampah yang terjadi di TPA Leuwi Gajah pada tahun 2008 (Kompas, 2008). Gas metana merupakan salah satu penyebab utama terjadinya efek rumah kaca (Ramaswamy et all., 2001). Melihat manfaat dan bahaya yang didapat dari gas metana maka perancangan sistem sensor metana untuk mengukur konsentrasi gas metana sangat diperlukan. Sistem sensor gas metana dapat digunakan untuk memonitor produksi gas metana pada biogas, kebocoran gas metana pada ruang penyimpan gas metana, dan untuk memonitor gas metana yang dihasilkan oleh timbunan sampah di tempat pembuangan sampah akhir.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah merancang dan melakukan karakterisasi sistem sensor gas metana
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah konsentrasi metana yang terukur pada rentang 500ppm-10.000ppm. Hasil Pengukuran ditampilkan pada LCD dan PC dengan pemrograman Visual Basic.
II. Dasar Teori
2.1 Metana
Gas metana merupakan rantai hidro karbon terpendek dan teringan yang ada di alam dengan rumus kimia CH4. Metana di alam terdapat pada gas alam dan batu bara, selain itu metana juga terdapat dalam biogas. Metana mempunyai sifat ringan, tidak berbau, tidak beracun dan mudah terbakar. (Forster, P.et all, 2007).
Komponen utama gas alam adalah gas metana, yaitu sebesar 80%-95%, kemudian etana (C2H6), propana (C3H8) dan butana(C4H10) (Born, 1990). Gas alam banyak ditemukan di ladang minyak, ladang gas bumi dan juga tambang batubara. Gas alam harus diolah terlebih dahulu sebelum didistribusikan. Campuran organosulfur dan hidrogen sulfida adalah pengotor utama dari gas yang harus dipisahkan . Gas dengan jumlah pengotor sulfur yang signifikan dinamakan sour gas dan sering disebut juga sebagai acid gas Gas alam yang telah diproses dan akan dijual bersifat tidak berasa dan tidak berbau. Akan tetapi, sebelum gas tersebut didistribusikan ke pengguna akhir, biasanya gas tersebut diberi bau dengan menambahkan thiol, agar dapat terdeteksi bila terjadi kebocoran gas.
Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerob. Colleran dkk (2003) membagi fase penurunan anaerobik dalam 4 fase, yaitu hidrolisis, asidogenik, asitogenik, dan metanogenik. Fase hidrolisis menguraikan protein, karbohidrat, dan lemak menjadi zat yang lebih sederhana. Fase hidrolisis menghasilkan asam amino, sakarida, asam lemak serta gliserol. Bakteri asidogenik memisahkan enzim untuk hidrolisis dan mengubah zat organik yang mudah terurai menjadi asam lemak dan alkohol. Asam lemak dan alkohol kemudian diubah oleh bakteri asetogenik menjadi asam asetat dan hidrogen serta karbondioksida. Bakteri metanogenik kemudian merubah asam asetat dan hidrogen serta karbondioksida untuk produksi metana. Komponen biogas terdiri dari 40%-70% gas metana, Karbondioksida (CO2) 30%-60%, Hidrogen (H2) 1%, dan kurang dari 1% dalam bentuk Nitrogen (N2), Hidrogen Sulfida (H2S), Oksigen (O2) dan Karbon Monoksida (CO) (Harahap).
Metana mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, gas metana yang dimampatkan dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin, gas metana diklaim lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil yang lain (Dentener F,2006), Di dalam industri kimia, metana adalah bahan baku untuk produksi hidrogen, metanol, asam cuka, dan anhidrida asetat. Di beberapa negara maju, metana telah didistribusikan ke rumah-rumah penduduk untuk kebutuhan domestik, bahkan NASA juga sedang melakukan penelitian tentang kemungkinan gas metana digunakan sebagai bahan bakar roket (J. H. Lacy).
2.2 Sensor Gas
Sensor adalah suatu peralatan yang berfungsi untuk mendeteksi gejala-gejala atau sinyal-sinyal yang berasal dari perubahan suatu energi seperti energi listrik, energi fisika, energi kimia, energi biologi, energi mekanik dan sebagainya (Sharon, 1982). Teknologi sensor mengalami perkembangan yang pesat, salah satunya adalah sensor kimia. Sensor kimia adalah sensor yang peka terhadap zat-zat kimia. Sensor ini menggunakan berbagai macam fenomena reaksi kimia yang mempengaruhi pengukuran karakteristik elektrik seperti hambatan, potensial, arus atau kapasitansi (Sinner-Hettenbach).
Sensor kimia mempunyai beberapa macam jenis, salah satunya adalah sensor gas berbahan metal oxida. Sensor ini mulai dikembangkan sekitar tahun 1960. Beberapa bahan metal oksida yang digunakan sebagai bahan sensor gas adalah SnO2 dan PdO2 (Fraden).
2.2.1 Prinsip Kerja Sensor Gas
Material sensor dari sensor gas metana adalah metal oksida, khususnya senyawa paladium oksida. Ketika bahan paladium oksida dihangatkan pada temperatur tertentu, maka oksigen akan diserap dari permukaan bahan, sehingga oksigen akan bermuatan negatif. Proses penyerapan oksigen oleh sensor dapat dilihat dari persamaan kimia berikut ini:
PdO2 + ½O2 + e- (PdO2)O- (2.1)
Hal ini disebabkan karena permukaan bahan akan mendonorkan elektron pada oksigen yang terdapat pada lapisan luar, sehingga oksigen akan bermuatan negatif dan muatan positif akan terbentuk pada permukaan luar bahan. Tegangan permukaan yang terbentuk akan menghambat laju aliran elektron (Sokolov AV, 2004).
Didalam sensor, arus listrik mengalir melewati daerah sambungan (grain boundary) dari bahan paladium oxida. Pada daerah sambungan, penyerapan oksigen mencegah muatan untuk bergerak bebas. Jika konsentrasi gas menurun, proses dioksidasi akan terjadi. Rapat permukaan dari muatan negatif oksigen akan berkurang dan akan mengakibatkan menurunnya ketinggian penghalang dari daerah sambungan. Misalnya, ditemukan adanya gas CH4 yang terdeteksi, maka persamaan reaksi kimianya berikut:
CH4 + 3PdO22- 3PdO- + CO2 + 2H2 O + 3e
.............. (2.2)
Dengan menurunnya penghalang maka resistansi sensor juga akan ikut menurun
Sensor gas metana mempunyai sensitivitas dan selektifitas yang sangat baik terhadap gas metana. Salah satu contoh sensor metana berbahan metal oxida adalah sensor TGS 2611 keluaran Figaro.
2.2.2. Sensitivitas Terhadap Gas
Resistansi sensor menurun drastis saat menemukan gas metana dan saat meninggalkan gas metana resistansinya kembali seperti semula.
Hubungan antara hambatan sensor terhadap konsentrasi gas ialah linier pada skala logaritmik mulai dari 500 ppm hingga 10.000 ppm.
2.2.3 Karakteristik Sensor
Karakteristik statik ditentukan oleh sifat sensor yang perubahan responnya tidak berubah terhadap waktu, beberapa hal yang termasuk dalam karakteristik statik sensor meliputi kalibrasi, linieritas, sensitivitas, jangkauan pengukuran, saturasi, dan repeatibility. (Fraden, 2003).
Karakteristik dinamik sensor adalah karakteristik sensor yang dipengaruhi oleh waktu. Karakteristik dinamik sensor ditandai dengan grafik respon time yang bersifat non linier.
2.3 Pengkondisi Sinyal
Pengkondisi sinyal adalah rangkaian elektronik yang dirancang dan dikemas khusus untuk keperluan pengukuran.
Rangkaian pengkondisi sinyal digunakan oleh sensor secala langsung untuk memperoleh parameter secara fisik yang diubah mejadi sinyal keluaran yang diperlukan. Tipe yang spesifik dari pengkondisi sinyal tergantung pada tipe dari sensor yang digunakan dan karakteristik sinyal keluaran yang dihasilkan
Tugas pengkondisi sinyal yang sering dilakukan adalah penguatan (amplification), dan linearisasi. Beberapa alat pengkondisi sinyal dapat melakukan penguatan sekaligus linearisasi untuk berbagai macam tipe transduser sedangkan jenis alat pengkondisi sinyal lainnya hanya bisa melakukan penguatan, linearisasinya menggunakan perangkat lunak (program) yang digunakan.
Pengkondisi sinyal yang digunakan pada penelitian ini adalah operasional amplifier (OpAmp). OpAmp pada hakekatnya merupakan sejenis IC. Di dalamnya terdapat suatu rangkaian elektronik yang terdiri atas beberapa transistor, resistor dan atau dioda. Jika pada IC jenis ini ditambahkan suatu jenis rangkaian, masukkan dan suatu jenis rangkaian umpan balik, maka IC ini dapat dipakai untuk mengerjakan berbagai operasi matematika, seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, mengintegrasi, dsb.
Tidak seperti amplifier konvesional, OpAmp mempunyai dua terminal masukkan, yakni: inverting input dan noninverting input yang masing-masing ditandai dengan "+" dan "-".
Faktor penguatan OpAmp boleh dikatakan sepenuhnya ditentukan oleh ratio R1 terhadap R2 dalam rangkaian feedback. .
OpAmp banyak dimanfaatkan dalam peralatan-peralatan elektronik sebagai penguat sensor dan masih banyak lagi. Pada penelitian ini, untuk sensor TGS 2611 menggunakan penguatan berupa operasional amplifier non inverting yang nanti akan dihubungkan dengan rangkaian sensor. Rangkaian operasional amplifier non inverting adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3. Rangkaian penguat non inverting
Penguat non inverting atau penguat tak membalik adalah penguat sinyal dengan tegangan keluaran yang sefase dengan sinyal masukan. Sinyal masukan disambungkan ke kaki non inverting (+) dan masukan inverting digrounkan. Tanda (+) dan (-) pada masukan op-amp bukan menunjukkan orientasi tegangan tetapi untuk menunjukkan adanya ketertinggalan fase.
III. Metodologi
Dalam bab metodologi ini menjelaskan dua sub bab yaitu yang pertama perancangan perangkat keras dan yang kedua perancangan perangkat lunak.
3.1 Perancangan perangkat keras
a. Rangkaian Dasar Pengukuran
Sensor metana menggunakan rangkaian pembagi tegangan sederhana. Dengan meng gunakan rangkian ini memungkinkan untuk mengamati parubahan resistansi sensor dengan megukur tegangan keluarannya.
Gambar 3.1 Rangkaian dasar pengukuran
Tegangan input yang digunakan sistem sensor sebesar 5 V. Hambatan beban yang dipilih adalah 400.
b. Pengkondisi Sinyal
Pengkondisi sinyal menggunakan rangkaian Op-Amp non inverting dengan penguatan 3 kali.
c. Sistem Interface
Menggunakan mikrokontroler AVR ATMEGA 8 yang berfungsi sebagai ADC, sehingga data pengukuran dapat ditampilkan pada LCD dan PC.
Gambar 3.1. Diagram blok rangkaian pengukur
konsentrasi CH4
3.2 Perancangan Perangkat Lunak
Program yang digunakan untuk menampilkan data adalah Visual Basic. Pengolahan data dengan Matlab 7.41.
3.3. Karakterisasi Sistem Sensor Metana
Pengambilan data untuk karakterisasi sistem sensor dengan menggunakan tempat penampung gas metana yang terbuat dari karet. Sistem sensor diletakkan pada sebuah tabung yang terhubung dengan penampung gas metana. Diasumsikan bahwa konsentrasi gas metana dalam tabung homogen. Proses kalibrasi dengan cara membandingkan data tegangan keluaran sensor dengan data konsentrasi gas metana yang terukur oleh alar ukur metana Star Gas GDS 898 OTC milik Balai Hiperkes Surabaya.
IV Hasil dan Pembahasan
4.1 Pengkondisi sinyal
Rangkaian dasar pengukuran yang digunakan adalah rangkaian pembagi tegangan (Gambar 3.1). Dalam rangkaian pembagi tegangan, tegangan ouput yang diambil adalah tegangan pada hambatan beban RL. Karena pada dasarnya tegangan pada sensor dan tegangan pada hambatan beban sama besar. Lihat gambar 3.1. Tegangan input (V) 5 Volt, hambatan beban RL 400, dan hambatan sensor Rs adalah variabel yang bergantung dari konsentrasi gas metana. Tegangan output (VL) dinyatakan dengan rumus:
.........................(4.1)
Ketika sensor mendeteksi gas metana, resistansi sensor RS nilainya turun, dari persamaan 4.1, jika RS turun, maka tegangan output (VL) naik.
Tegangan keluaran sensor terlalu kecil untuk dapat diolah dan diterima oleh mikrokontroler, sehingga diperlukan pengondisi sinyal berupa OP-Amp non inverting. Nilai penguatan yang dipilih adalah 3 kali. Tegangan keluaran awal 0.09 V, setelah dikuatkan 3 kali, tegangan keluarannya menjadi 0,3 V. Penguatan yang diambil tidak boleh terlalu besar, karena akan memperkecil batas pengukuran sensor gas metana.
4.2 Respon time Sensor
Setiap alat instrumentasi mempunyai waktu tanggap untuk menghasilkan outputan yang stabil atau respon time yang bebeda-beda. Sistem sensor metana mempunyai karakteristik yang unik. Sebelum digunakan untuk sensing, sensor perlu dipanaskan terlebih dahulu.
Gambar 4.1 Grafik Respon Time Sensor Ketika
Pemanasan
Dari grafik diatas, tampak bahwa sensor membutuhkan sekitar 450 s untuk mencapai tegangan yang stabil, atau dapat dikatakan respon time sensor ketika pemanasan adalah selama 450 s dengan nilai tegangan 0.76V.
Gambar 4.2 Grafik Respon Time Sensor pada
berbagai Konsentrasi Gas Metana
Gambar 4.2 menunjukkan perilaku sensor yang sudah dipanaskan ketika mendeteksi gas metana. Respon time sensor adalah 100 s
Sensor metana membutuhkan waktu 450s supaya tegangannya setabil. Waktu 450s tersebut digunakan sensor untuk memanaskan elemen sensing. Elemen sensing akan bekerja setelah adanya pemanasan.
4.3 Jangkauan Pengukuran Sensor
Jangkauan pengukuran adalah salah satu karakteristik sensor. Jangkauan penguran ada dua macam yaitu jangkauan pengukuran masukan dan jangkauan pengukuran keluaran. Jangkauan pengukuran masukan sensor gas metana adalah antara 500 ppm sampai dengan 10.000 ppm. Jangkauan pengeluarannya adalah selisih input maksimum terhadap input minimum, yaitu sebesar 9500 ppm. Sensor gas metana mempunyai titik saturasi atau batas pengukuran tertinggi yang dapat dilakukan oleh sensor. Sensor gas metana hanya mampu mengeluarkan tegangan output maksimal 4.8 V.
Gambar 4.3 Jangkauan Pengukuran Sensor Gas
Metana
4.4 Kalibrasi Sensor
Kalibrasi sensor metana menggunakan data pembanding dari alat ukur metana Star Gas GDS 898 OTC milik Balai Hiperkes Surabaya. Data tegangan keluaran sensor dibandingkan dengan data konsentrasi dari alat ukur metana GDS898OTC. Kemudian dibuat grafik hubungan antara tegangan keluaran dari sensor metana dengan konsentrasi gas dari GDS 898OTC.
Gambar 4.4 grafik Kalibrasi Sensor Gas Metana
V. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan didapatkan bahwa respon time sensor sebelum dan sesudah pemanasan masing-masing adalah 450s dan 100s. Jangkauan pengukuran masukan antara 500ppm–10.000ppm dengan rentang sinyal keluaran 0.8V–4.8V. Fungsi transfer sistem sensor yaitu V=1.8636Ln(ppm) –11.686.
5.2 Saran
Untuk pengembangan dan penelitian selanjutnya agar dapat dibuat sistem data base pada sistem sensor gas metana, sehingga dapat menyimpan hasil pengukuran yang banyak,
DAFTAR PUSTAKA
1. A.V. Mancharkar, S.H. Behere, 2005, PCPICE Simulation for Performance Testing of Signal Conditioning Circuit for LDR, Acad Journal, Vol 15
2. Born, M., H. Dorr, and I. Levin, 1990: Methane consumption in aerated soils of the temperate zone. Tellus , 42B, 2–8.
3. David , (2001), The Biogas Handbook, Peace Press.
4. Dentener, F., et al., 2006: Emissions of primary aerosol and precursor gases in the years 2000 and 1750 - prescribed data-sets for AeroCom. Atmos.Chem. Phys. Discuss
5. Ed Wheless,” Siloxanes in Landfill and Digester Gas Update”
6. Forster, P.et all, 2007: Changes in Atmospheric Constituents and in Radiative Forcing” Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
7. Harahap, F., Apandi, M., Ginting, S., (1978). Teknologi Gas Bio, PTP-ITB
8. J. H. Lacy, J. S. Carr, N. J. Evans, II, F. Baas, J. M. Achtermann, J. F. Arens (1991). "Discovery of interstellar methane - Observations of gaseous and solid CH4 absorption toward young stars in molecular clouds". Astrophysical Journal
9. Ramaswamy, V., et al., 2001: Radiative forcing of climate change. In Climate Change 2001: The Scientifi c Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Houghton, J.T., et al. (eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA, pp. 349–416.
10.Kompas 23-02-2005
11.http://www.figaro.com
1)
Senin, 29 Maret 2010
KARAKTERISASI SISTEM SENSOR GAS METANA
PERANCANGAN DAN KARAKTERISASI
SISTEM SENSOR GAS METANA
Oleh
Ikhwan Wahyudianto1), Melania Suweni Muntini2), Triwikantoro3)
Lab. Fisika Instrumentasi, Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2009
1)alip@physics.its.ac.id, 2)melania@ physics.its.ac.id, 3)triwikantoro@ physics.its.ac.id.
Abstrak
Metana adalah salah satu gas yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Metana mempunyai sifat ringan, tidak berbau dan mudah terbakar. Pada penelitian ini dirancang sistem sensor gas metana yang dapat digunakan untuk pengukuran konsentrasi gas metana. Salah satu material yang dapat digunakan sebagai sensor gas metana adalah senyawa paladium oksida. Prinsip kerja sensor adalah penurunan resistansi pada sensor ketika mendeteksi gas metana. Sistem sensor yang digunakan dalam penelitian ini akan dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan meliputi respon time sensor, jangkauan pengukuran masukan dan pengeluaran, tegangan saturasi, dan kalibrasi. Hasil pengukuran akan ditampilkan melalui LCD dan PC, pemrograman menggunakan Visual Basic, dan mikrokontroler yang digunakan adalah AVR ATMEGA8.
Hasil pengolahan data karakterisasi sensor yang telah diperoleh menunjukkan bahwa respon time sistem sensor ketika pemanasan adalah 400 s, respon time setelah pemanasan 100 s, jangkauan pengukuran masukannya adalah antara 594ppm -9680ppm dengan rentang sinyal keluaran 0.8V-4.8V. Titik saturasi adalah 9680ppm. Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan tegangan keluaran sensor dan alat ukur konsentrasi gas metana. Hasil kalibrasi adalah fungsi transfer sensor yaitu V=1.8636Ln(ppm)-11.686.
Kata kunci: metana, sensor gas, karakterisasi, kalibrasi, pengukuran
SISTEM SENSOR GAS METANA
Oleh
Ikhwan Wahyudianto1), Melania Suweni Muntini2), Triwikantoro3)
Lab. Fisika Instrumentasi, Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2009
1)alip@physics.its.ac.id, 2)melania@ physics.its.ac.id, 3)triwikantoro@ physics.its.ac.id.
Abstrak
Metana adalah salah satu gas yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Metana mempunyai sifat ringan, tidak berbau dan mudah terbakar. Pada penelitian ini dirancang sistem sensor gas metana yang dapat digunakan untuk pengukuran konsentrasi gas metana. Salah satu material yang dapat digunakan sebagai sensor gas metana adalah senyawa paladium oksida. Prinsip kerja sensor adalah penurunan resistansi pada sensor ketika mendeteksi gas metana. Sistem sensor yang digunakan dalam penelitian ini akan dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan meliputi respon time sensor, jangkauan pengukuran masukan dan pengeluaran, tegangan saturasi, dan kalibrasi. Hasil pengukuran akan ditampilkan melalui LCD dan PC, pemrograman menggunakan Visual Basic, dan mikrokontroler yang digunakan adalah AVR ATMEGA8.
Hasil pengolahan data karakterisasi sensor yang telah diperoleh menunjukkan bahwa respon time sistem sensor ketika pemanasan adalah 400 s, respon time setelah pemanasan 100 s, jangkauan pengukuran masukannya adalah antara 594ppm -9680ppm dengan rentang sinyal keluaran 0.8V-4.8V. Titik saturasi adalah 9680ppm. Kalibrasi dilakukan dengan membandingkan tegangan keluaran sensor dan alat ukur konsentrasi gas metana. Hasil kalibrasi adalah fungsi transfer sensor yaitu V=1.8636Ln(ppm)-11.686.
Kata kunci: metana, sensor gas, karakterisasi, kalibrasi, pengukuran
Langganan:
Postingan (Atom)